SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
Di tinjau berdasarkan sistem
pemilikan sumber aya ekonomi atau faktor – faktor produksi, tak terdapat alas
an untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalistik. Sama halnya,
tak pula cukup argumentasi untuk individual atas faktor – faktor produksi,
kecuali untuk sumber daya sumber aya yang banyak menguasai bajat hidup orang
banyak, dikuasai oleh negara. Hal ini di atur dengan tegas oleh Pasal 33 UUD
1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme
an bukan pula sosialisme.
Kehidupan
perekonomian atau sistem ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari prinsip –
prinsip dasar dari pembentukan Republik Indonesia yang tercantum dalam
Pancasila dan UUD 1945. Sistem ekonomi Indonesia yang termasuk sistem ekonomi
campuran itu disesuaikan terutama dengan UUD 1945 sebelum di amandemen tahun
2000 yakni sistem ekonomi Pancasila dan ekonomi yang menitikberatkan pada koperasi
terutama pada masa Orde lama sebelum tahun 1996 dan hingga kini masih berkembang.
Dalam masa pemerintahan Indonesia Baru (1999) setelah berjalan nya masa
reformasi muncul pula istilah ekonomi kerakyatan. Tetapi inipun belum banyak
dikenal, karena hingga kini yang masih banyak dikenal masyarakat adalah
sistem ekonomi campuran yakni sistem ekonomi Pancasila, di sampine ekonomi yang
menitikberatkan kepada peran koperasi dalam perekonomian Indonesia.
Perbedaan
antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan sistem
ekonomi yang di anut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung
dalam keadilan sosial yang merupakan sila ke lima Pancasila yakni prinsip
pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi. Kedua prinsip ini
sebenarnya yang merupakan pencerminan sistem ekonomi Pancasila, yang jelas –
jelas menentang sistem individualism liberal atau free fight liberalism (sistem
ekonomi kapitalisme ekstrem) dan sistem ekonomi komando (sistem ekonomi
sosialisme ekstrem).
A.
Sistem
Ekonomi pada Masa Penjajahan Belanda
Menurut sistem ekonomi yang pernah
diterapkan selama penjajahan Belanda, sejarah ekonomi colonial Hindia Belanda
dapat dibagi dalam tiga episode: Sistem merkantilisme ala VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) sekitar tahun 1600 – 1800 yang penekanan nya pada
peningkatan ekspor dan pembatasan impor, sistem monopoli negara ala sistem
tanam paksa sekitar 1830 – 1870, dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak
1870 hingga 1945. Sistem – sistem ekonomi colonial ini di satu sisi
meninggalkan kemelaratan bagi rakyat Indonesia, namun di sisi lain melahirkan
budaya cocok tanam, sistem uang, dan buaya industry. Bahkan sebenarnya,
pemerintah Hindia Belanda telah menjadikan Indonesia menjadi salah satu
kekuatan ekonomi di Asia. Pada masa itu, Indonesia merupakan pengekspor
terbesar sejumlah komoditas primer khususnya gula, kopi, tembakau, teh, kina,
karet, dan minyak kelapa sawit.
Pada
decade 1930an seluruh perkebunan Hindia Belanda mencapai luas hampir 3,8 juta
hektar. Ekspornya mencapai 1,6 milyar gulden pada akhir decade 1920an. Bank –
bank bermunculan dan juga lahir lembaga perkreditan rakyat, yang pada awal nya
di modali oleh lumbung desa. Industry manufaktur dimotori oleh pertumbuhan
industry – industry gula. Selain itu, industry – industry sabun, semen,
keramik, logam baja, es, rokok, dan mesin – mesin pabrik juga berkembang pesat,
yang semua nya berlokasi di Jawa. Pasar modal muncul dan modal asing (khususnya
dari Inggris dan Belanda) masuk dalam jumlah yang besar di perkebunan,
pertambangan, dan industry manufaktur. Infrastruktur untuk mendukung
perekonomian juga berkembang baik, seperti : pelabuhan – pelabuhan laut, jalan
kereta api, dan jalan raya, termasuk pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang 1000
kilometer dari Anyer hingga Panarukan. Namun, seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, perkembangan ekonomi yang pesat tidak memberi peningkatan
kesejahteraan bagi rakyat.
B.
Sistem
Ekonomi pada Masa Orde Lama
Soekarno sebagai Bapak Proklamator
Kemerdekaan Indonesia sangat membenci dasar – dasar pemikiran Barat, termasuk
sistem ekonomi liberal / kapitalisme nya. Soekarno menganggap sistem
kapitalisme – liberalism selama penjajahan Belanda telah benar – benar
menyengsarakan rakyat Indonesia sehingga aliran ini harus dibenci dan di usir
dari Indonesia. Menurut Soekarno, untuk mengusir atau mengimbangi kekuatan
ekonomi Barat berlandaskan kapitalisme – Liberalisme, Indonesia harus
menerapkan pemikiran dari Marhaenisme yaitu Marxisme. Tetapi baru pada tahun
1959 paham kapitalisme – liberalism secara konstituonal ditolak dengan
diberlakukan nya lagi UUD 1945 sebagai landasan dari sistem ekonomi nasional.
Namun demikian, dalam praktiknya, Soekarno menerapkan sistem ekonomi komando
seperti yang diterapkan khususnya di negara – negara beraliran komunis, seperti
Uni Soviet (sekarang Rusia), negara – negara Eropa Timur (sekarang disebut
negara – negara transisi), dan China. Dengan sistem ini, semua rencana dan
keputusan yang menyangkut pembangunan ekonomi, termasuk pemilihan industry yang
akan dibangun, ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat.
Selama periode Orde Lama (1945 –
1966), perekonomian Indonesia tidak berjalan mulus, bahkan sangat buruk yang
juga disebabkan oleh ketidakstabilan politik di dalam negeri yang dicerminkan
antara lain oleh terjadinya beberapa pemberontak di sejumlah daerah, termasuk
di Sumatera dan Sulawesi, pada decade 1950an yang nyaris meruntuhkan sendi –
sendi ekonomi nasional. Selama periode 1950an, hanya pada tahun 1953 tercatat
pertumbuhan indeks output agregat sebesar 22,1%, sedangkan pada tahun – tahun
lainnya berkisar antara terendah -1,9% (1959) dan tertinggi 5,8% (1957). Pada
decade 1960an, kondisi perekonomian Indonesia bertambah buruk yang nyaris
mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966 engan pertumbuhan produk domestic
bruto (PDB) masing – masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%. Kehancuran ekonomi
Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga di dorong oleh hiperinflasi
yang pada tahun 1966 mencapai 650%.
Ketidakstabilan politik di dalam
negeri yang membuat hancurnya perekonomian Indonesia pada masa Soekarno juga diwarnai
oleh perubahan cabinet selama 8 kali pada masa demokrasi parlementer pada
perioe 1959 – 1965, yang di awali oleh cabinet Hatta (Desember 1949 – September
1950), dan setelah itu berturut – turut Kabinet Natsir (September 1950 – Maret
1951), Kabinet Sukirman (April 1951 – Februari 1952), Kabinet Wilopo (April
1952 – Juni 1953), Kabinet Ali I (Agustus 1953 – Juli 1955), Kabinet
Burhanuddin (Agustus 1955 – Maret 1956), Kabinet Ali II (April 1956 – Maret
1957), Kabinet Djuanda (Maret 1957 – Agustus 1959).
Kebijakan ekonomi paling penting yang
dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang
nasional yang pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas
semua uang kertas yang beredar pada masa Kabinet Natrsir (Kabinet pertama dalam
negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu
perencanaan pembangunan ekonomi. Pada massa Kabinet Sukirman, kebijakan –
kebijakan penting yang di ambil antara lain nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda. Pada masa
cabinet wilopo, langkah – langkah konkret yang di ambil untuk memulihka
perekonomian Indonesia saat itu di antaranya adalah untuk pertama kalinya
memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam anggaran pendapatan dan belana
negara (APBN). Pada masa Kabinet Ali I, hanya dua langkah konkret yang
dilakukan dalam bidang ekonomi, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat
selama Kabinet Burhanuddin, tindakan – tindakan ekonomi penting yang dilakukan
termasuk di antaranya adalah liberalisasi impor dan kebijakan uang ketat laju
uang beredar. Berbeda dengan cabinet – cabinet sebelumnya pada masa Kabinet Ali
II, praktis tidak ada langkah – langkah yang berarti, selain mencanangkan
sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956 – 1960.
Kurang aktifnya Kabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaan
politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan – tekanan
dari masyarakat dari daerah – daerah di luar Jawa yang selama ini tidak merasa
puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam
negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini
juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya
di alihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga
pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet
Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan – perusahaan
Belanda.
Pada tahun 1957, Soekarno
mencanangkan “Ekonomi Terpimpin” yang lebih memperkuat lagi sistem ekonomi
komando. Dan selama tahun 1957 – 1958 terjadi nasionalisasi perusahaan –
perusahaan Belanda. Dengan pencanangan Ekonomi Terpimpin, sistem politik dan
ekonomi Indonesia semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis.
Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dari
negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya memilih haluan politik yang
berbau komunis hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi,
antiimperialisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, Soekarno percaya bahwa pemikiran Marxisme merupakan satu – satunya
senjata yang ampuh untuk melawan kapitalisme. Pada masa itu, prinsip – prinsip
individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta / pribadi sangat
ditentang karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya prinsip – prinsip
tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat
Indonesia semakin sulit mendapat dana dari negara – negara Barat, baik dalam
bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai
rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya Indonesia sangat membutuhkan
dana yang sangat besar. Hingga akhir tahun 1950an, tepatnya sebelum
menasionalisasikan perusahaan – perusahaan Belanda, sumber utama penanaman
modal asing di Indonesia berasal dari Belanda yang sebagian besar untuk
kegiatan ekspor hasil – hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan
– kegiatan ekonomi yang terkait.
Pada tahun 1963, Soekarno
menyampaikan konsep ekonomi yang di kenal dengan sebutan Deklarasi Ekonomi,
yang berisi semacam tekat untuk menggunakan sistem ekonomi pasar, sebagai
“koreksi” terhadap praktik – praktik ekonomi komando. Sayangnya tekat ini tidak
dapat dilaksanakan karena tidak mendapat dukungan dari partai – partai politik
yang ada pada saat itu, termasuk Partai Komunis Indonesia. Prinsip – prinsip
Deklarasi Ekonomi akhirnya dilupakan orang dan hingga berakhirnya orde lama,
sistem ekonomi Indonesia yang berlaku tetap sistem komando.
C.
Sistem
Ekonomi pada Masa Orde Baru Hingga Sekarang
Pada masa orde baru yang lahir tahun
1966, sistem ekonomi berubah total. Berbeda dengan pemerintahan orde lama,
dalam era Soeharto ini paradigma pembangunan ekonomi mengarah pada penerapan
sistem ekonomi pasar bebas (demokrasi ekonomi), dan politik ekonomi diarahkan
pada upaya – upaya dan cara – cara menggerakkan kembali roda ekonomi.
Pemerintahan orde baru menjalin hubungan baik dengan pihak Barat, dan menjauhi
pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan
Bangsa – Bangsa (PBB) dan lembaga – lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang putus pada zaman Soekarno. Dengan
membaiknya kembali hubungan Indonesia dengan kedua lembaga donor internasional
tersebut, Indonesia mendapat pinjaman untuk membiayai defisit anggaran belanja
pemerintah, yang sumber dana nya berasal dari pinjaman bilateral dari sejumlah
negara Barat, seperti AS, Inggris, dan Belanda. Langkah – langkah drastis dari
Soeharto tersebut juga ditegaskan oleh Muhammad Sadli yang dikutip dari Atmanto
dan Febriana sebagai berikut : Begitu menjadi Presiden, Soeharto langsung
menggebrakan tiga kebijakan yang berbeda 180 derajat dengan Soekarno, yakni
mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sector ekonomi, dan merangkul Barat.
Soeharto melirik negara – negara Barat, termasuk lembaga donor, seperti Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan tujuan menarik modal mereka.
Soeharto menilai bantuan dari Timur dipandang tidak terlalu bisa membantu
ekonomi Indonesia waktu itu.
Pemerintahan orde lama meninggalkan
berbagai masalah serius bagi pemerintahan Orde Baru, termasuk kelangkaan bahan
pangan dan pasokan bahan baku yang nyaris terhenti, hiperinflasi, produksi
dalam negeri nyaris terhenti, kerusakan infrastruktur yang parah, terkurasnya
cadangan devisa, tingginya tunggakan utang luar negeri (ULN), defisit APBN yang
sangat besar, dan krisis neraca pembayaran. Oleh sebab itu, sebelum pembangunan
resmi di mulai, terlebih dahulu dilakukan pemulihan stabilitas di semua aspek
kehidupan, ekonomi, sosial, dan politik, dan rehabilitasi ekonomi di dalam
negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali
tingkat inflasi lewat kebijakan uang ketat, yakni dengan menghentikan
percetakan uang yang pada masa orde lama berlangsung tak terkendali, membuat
anggaran belanja pemerintah berimbang, menghidupkan kembali kegiatan produksi
dalam negeri, khususnya pangan, memperbaiki infrastruktur, menghilangkan krisis
neraca pembayaran, antara lain lewat peningkatan ekspor. Juga pada awal orde
baru, pemerintah harus membayar ULN yang jumlahnya mencapai 530 juta doalr AS,
padahal pada saat itu penghasilan pemerintah dari ekspor migas dan nonmigas
tercatat hanya 430 juta dolar AS. Sehingga penjadwalan ULN menjadi hal yang
mendesak agar cadangan devisa yang ada bisa sepenuhnya digunakan untuk
mengimpor barang – barang penting untuk kelangsungan hidup masyarakat dan
proses pembangunan ekonomi di dalam negeri, seperti makanan, bahan baku yang
telah diolah, dan barang modal.
Pada awal era Soeharto ini,
pemerintah mengambil beberapa langkah drastic yang bersifat strategis yang
menandakan sedang berlangsungnya suatu perubahan yang cepat dalam sistem
ekonomi Indonesia dari sistem ekonomi Komando ke sistem ekonomi pasar,
diantaranya adalah dikeluarkan nya sejumlah paket kebijakan liberalisasi dalam
perdagangan dan investasi. Paket – paket kebijakan jangka pendek tersebut
adalah tindak lanjut dari diterbitkan nya Tap MPRS No.XXIII Tahun 1966 tentang
Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, yang bertujuan
untuk menstimulasi swasta masuk ke sector – sector strategis. Salah satu paket
kebijakan yang sangat penting dalam arti sangat berperan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde baru adalah UU Penanaman
Modal Asing yang dikeluarkan pada 1967 dan UU Penanaman Modal dalam Negeri pada
tahun 1968. Untuk mendukung pelaksanaan kedua UU tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan kebijakan deregulasi dan kebijakan debirokratisasi untuk urusan –
urusan yang berkaitan dengan perekonomian pada umumnya dan investasi pada
khususnya. Selain itu, pada masa yang sama perusahaan – perusahaan yang di
nasionalisasikan pada masa orde lama di kembalikan ke pemiliknya.
Menjelang akhir decade 1960an, atas
kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk
suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia
(IGGI), yang terdiri atas sejumlah negara maju, termasuk Jepang dan Belanda,
dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa
pada saat itu Indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relative pendek
setelah melakukan perubahan sistem politiknya secara drastic, dari “pro”
menjadi “anti’ komunis, Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat.
Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu – satu nya negara yang sangat
antikomunis yang dianggap oleh Barat telah berhasil mengalahkan pemberontakan
komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonomi nya.
Pada saat itu belum ada krisis ULN dari kelompok NSB, seperti pada decade
1980an sehingga boleh dikatakan bahwa perhatian Bank Dunia pada saat itu dapat
dipusatkan sepenuhnya kepada Indonesia.
Pembangunan ekonomi diatur melalui
serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dimulai dengan
Repelita I (1969 – 1974), dengan penekanan utama pada pembangunan sector
pertanian dan industri - industri yang
terkait seperti agroindustri. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada
Repelita I terpusatkan pada pembangunan industry – industry yang dapat menghasilkan
devisa lewat ekspor dan substitusi impor, industry – industry yang memproses
bahan – bahan baku yang dimiliki Indonesia, industry – industry yang padat
karya, industry – industry yang mendukung pembangunan regional, dan juga
industry – industry dasar, seperti pupuk, semen, kimia dasar, bubuk kertas dan
kertas, tekstil.
Sejak decade 80an perekonomian
Indonesia mengalami suatu pergeseran kea rah yang lebih liberal dan
terdesentralisasi berbarengan dengan berubahnya peran pemerintahan pusat dari
yang sebelumnya sebagai agen pembangunan ekonomi di samping agen pembangunan
sosial dan politik ke peran lebih sebagai fasilisator bagi pihak swasta,
terutama dari segi administrasi dan regulator, sedangkan peran swasta meningkat
pesat. Pergeseran ekonomi Indonesia ini di dorong oleh sejumlah deregulasi yang
di awali dengan deregulasi sistem perbankan pada tahun 1983 an deregulasi
perdagangan pada tahun 1984. Paket – paket deregulasi tersebut sesuai dengan
tuntutan dari negara – negara donor, Bank Dunia, dan IMF yang dikenal dengan
sebutan “Konsensus Washington".
Karena ekonomi Indonesia pada masa
orde baru semakin bergantung pada modal asing, khususnya PMA, dan pinjaman luar
negeri, pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain selain melakukan deregulasi
– deregulasi tersebut. “Washington Consensus” tersebut terdiri atas 12 butir :
1. Penghapusan kontrol pemerintah atas
harga komoditi, faktor produksi, dan mata uang.
2. Disiplin fiskal untuk mengurangi
defisit anggaran belanja pemerintah atau bank sentral ke tempat yang bisa
dibiayai tanpa mengakibatkan inflasi.
3. Pengurangan belanja pemerintah dan
pengalihan belanja dari bidang – bidang yang tidak terlalu penting atau yang
secara politis sensitif ke pembiayaan infrastruktur, kesehatan primer
masyarakat, dan pendidikan.
4. Reformasi sistem perpajakan dengan
penekanan pada perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan,
mempertajam intensif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan
manipulasi aturan pajak, da pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di Luar Negeri.
5. Liberalisasi keuangan yang tujuan
jangka pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus
bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi
dari tingkat inflasi, dan tujuan jangka panjangnya untuk menciptakan tingkat
bunga berdasarkan kekuatan pasar demi memperbaiki alokasi modal.
6. Menetapkan tingkat nilai tukar mata
uang yang tunggal dan kompetitif.
7. Liberalisasi perdagangan dengan
mengganti pembatasan perdagangan luar negeri melalui kouta dengan tariff dan
secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan
seragam.
8. Peningkatan tabungan dalam negeri
melalui langkah – langkah yang telah di sebut di atas, seperti pengurangan
defisit anggaran belanja pemerintah (disiplin fiskal), reformasi perpajakan,
dll.
9. Peningkatan PMA.
10. Privatisasi perusahaan negara.
11. Penghapusan peraturan yang
menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang
membatasi persaingan.
12. Property rights, sistem hukum yang
berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, capital, dan
bangunan.
Namun, tidak semua pihak setuju
dengan berkurangnya peran pemerintah atau negara di dalam ekonomi. Bahkan pada
decade 80an hingga awal 90an sempat muncul perdebatan public antara pihak yang
tetap menginginkan pemerintah sebagai pemain utama sesuai bunyi pasal 33 UUD
1945 (ayat 2 dan 3), dan pihak yang menginginkan kebebasan sistem ekonomi pasar
yang mampu mengembangkan demokrasi ekonomi sesuai penjelasan pasal 33 tersebut.
Hasil dari usaha – usaha pemerintahan
orde baru untuk menghidupkan kembali roda perekonomian nasional dengan sistem
ekonomi pasar dan didukung oleh kebijakan – kebijakan ekonomi di segala sector
dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan di dalam Repelita cukup mengagumkan,
terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat
dengan laju pertumbuhan rata – rata per tahun yang tinggi, yang juga relative
lebih tinggi dari pada laju rata – rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok NSB.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah mampu meningkatkan posisi Indonesia dari
satu negara termiskin di dunia menjadi negara berpendapatan menengah. Pada
tahun 1969, pada saat di mulainya Repelita I, pendapatan per kapita Indonesia
hanya sekitar 70 dolar AS, dan pada pertengahan decade 90an sudah mencapai
hampir 900 dolar AS.
Sistem ekonomi Indonesia cenderung
semakin kapitalis atau sistem ekonomi pasar semakin luas diterapkan sejak era
reformasi pada tahun 1988 hingga sekarang pada masa pemerintahan SBY. Ada dua dorongan utama yang membuat hal itu
terjadi. Pertama, karena desakan dari IMF sebagai konsekuensi dari bantuan
keuangan dari lembaga moneter dunia tersebut yan di terima oleh pemerintah
Indonesia untuk membiayai proses pemulihan akibat krisis ekonomi 1997/1988.
Sudah diketahui secara umum bahwa setiap negara menerima bantuan dari IMf harus
melakukan apa yang disebut “penyesuaian structural” yang terdiri atas sejumlah
langkah yang harus ditempuh oleh negara – negara penerima bantuan yang menjurus
liberalisasi perekonomian mereka. Langkah – langkah yang paling penting dan
yang pada umumnya paling berat untuk dilakukan karena sering menimbulkan dampak
negative jangka pendek terhaap ekonomi dan gejolak sosial di negara peminjam
adalah :
1. Menghilangkan segala bentuk proteksi,
termasuk hambatan – hambatan nontariff, untuk meningkatkan perdagangan luar
negeri dan arus investasi asing.
2. Menghapuskan segala macam subsidi dan
menaikkan penerimaan pajak untuk penguatan fiskal.
3. Menerapkan kebijakan moneter yang
sifatnya kontraktif untuk menjaga stabilitas harga (menekan lau inflasi) dan
nilai tukar mata uang nasional.
4. Memprivatisasikan perusahaan –
perusahaan milik negara (BUMN) untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan
sekaligus mengurangi beban keuangan pemerintah (dalam kasus Indonesia adalah
APBN).
5. Meningkatkan ekspor untuk
meningkatkan cadangan devisa.
6. Meningkatkan efisiensi birokrasi dan
menyederhanakan segala macam peraturan yang ada atau menghapuskan berbagai
peraturan yang terbukti selama itu menimbulkan distorsi pasar untuk
menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
7. Mereformasikan sector keuangan untuk
meningkatkan efisiensi di sector tersebut.